Sr Cecilia, Sr Gabriella, dan Ibu Theodora
Suster Cecilia adalah seorang biarawati muda dari Gereja Katolik Ruthenia, salah satu dari 22 Gereja-Gereja Katolik Timur. Gereja Katolik Ruthenia menggunakan Ritus Bisantin. Ia dan 2 biarawati lainnya tinggal di suatu komunitas bernama “Komunitas Para Biarawati dari Kristus Sang Mempelai”. Biaranya berlokasi di Burton, Ohio, Amerika Serikat.
Gereja-Gereja Katolik Timur adalah Gereja-Gereja Ritus Timur yang bersatu dengan Gereja Katolik Romawi membentuk 1 Gereja Katolik sedunia. Gereja-Gereja Katolik Timur bukan lah Gereja-Gereja Ortodoks, meskipun memang sebagian besar dari Gereja-Gereja Katolik Timur memiliki Tradisi, Spiritualitas, Pendekatan teologis, tata cara yang sama atau mirip dengan Gereja-Gereja Ortodoks.
Baru-baru ini Suster Cecilia diminta oleh Komisi Komunikasi Keuskupan Katolik Romawi di Cleveland untuk memberikan suatu renungan Adven dalam kaitan dengan kehidupannya sebagai seorang biarawati Katolik dan adanya Tahun Iman.
Versi asli dalam bahasa Inggris nya dapat saudara temukan di sini. Dan berikut ini adalah terjemahan renungan Suster Cecilia :
“Apakah Anda seorang biarawati?”, demikian pertanyaan yang sering ditujukan kepada saya, dimanapun, seperti misalnya ketika berada di toko kelontong. Lalu dengan segera saya pun membalas, “Ya!”. Lalu percakapan biasanya berlanjut dengan orang yang bertanya tersebut bernostalgia tentang kenangannya ketika ia masih bersekolah di sekolah Katolik. Dimana di situ ia diajar oleh biarawati. Atau terkadang ada pula yang melanjutkan dengan rasa terkejut bahwa saat ini biarawati masih ada (terutama yang masih berusia muda!). Saya seringkali terkejut dengan kegembiraan yang dapat saya lihat di mata mereka yang bertanya. Apakah keterkejutan dan kegembiraan yang timbul tersebut adalah reaksi-reaksi karena telah bertemu dengan seorang biarawati?
Marilah kita sejenak kembali ke iman. Saat ini saudara sekalian pastilah sudah mengetahui bahwa kita tengah berada dalam “Tahun Iman” yang telah diresmikan sendiri oleh Bapa Suci Benediktus XVI. Iman terdiri atas suatu perjumpaan yang nyata, jatuh cinta yang mesra dengan Allah. Dan juga pengenalan terhadap Allah yang kita cintai ini, serta terhadap Gereja-Nya. Kalau demikian, pastilah “Tidak ada seorang pun pernah melihat Allah” (Injil Yohanes 1:18) menjadi suatu masalah bagi kita? Bagaimanapun, jika kita membaca kelanjutan ayat ini, kita akan menjumpai bahwa “Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dia lah yang menyatakan-Nya.”
Sr Cecile dan kambing-kambing peliharaan
Dalam hal ini, saya pun turut membantu agar Allah dikenal. Sebagai seorang biarawati, saya diharapakan dan berharap dapat mewujudkan kasih Allah (saya memungkinkan Kasih Allah dapat dilihat dan dialami sebagai sesuatu yang hidup, yaitu dalam diri saya sebagai daging yang hidup, manusia); sama seperti halnya Tuhan Yesus yang menjadi daging yang hidup, manusia. Dalam diri saya ada persatuan manusia dengan Tuhan; mirip dengan persatuan Allah dan manusia dalam diri Yesus. Dan saya dapat melakukan ini, yaitu membantu agar Allah dikenal, dengan berbagai macam cara. Tentu saja ketika orang-orang melihat dan bertemu saya di berbagai kesempatan, saya rasa mereka tidak akan berpikir kepada dirinya sendiri, “Wow! Lihatlah, wanita itu adalah perwujudan kasih Allah!”. TAPI, bagaimanapun juga saya percaya bahwa hati nurani terdalam mereka mengetahui hal ini, entah mereka bisa atau tidak mengekspresikannya. Sebagai contoh dari hal ini, orang-orang seringkali menghentikan langkah saya untuk meminta doa saya untuk suatu hal tertentu. Untuk mau mempercayakan intensi doa yang dirasakan mereka penting kepada saya, tentulah mereka mengerti dan merasa bahwa saya dianggap menikmati suatu kedekatan istimewa dengan Allah.
Pakaian biara yang saya kenakan pun adalah suatu tanda kasih karunia Allah dalam arti dan cara tertentu. Dengan mengenakannya, diharapkan akan mengubah saya dan melebur saya ke dalam kasih Allah, yaitu kedalam diri-Nya sendiri. Ketika orang melihat saya, mereka mengerti dan tahu bahwa saya adalah seorang wanita yang telah dipersembahkan dan dikuduskan hanya bagi Allah. Dan semoga hal ini lalu menginspirasi suatu pertanyaan di dalam diri mereka, “Bagaimana caranya agar saya dapat lebih lagi berbakti dan mengasihi Allah?”.
Dengan demikian, Setiap kali saya berjumpa dengan seseorang, hal itu menjadi suatu “saat-saat inkarnasi”. Ini berlaku bukan hanya dengan pakaian biara yang saya kenakan. Tetapi juga sama halnya dengan senyum yang saya berikan, sukacita yang saya pancarkan, kesabaran dalam kesusahan yang saya perlihatkan, dan lain sebagainya. Semua hal itu memberi kesempatan kepada saya untuk memancarkan dan mewujudkan kasih Allah. Maka dengan demikian, seluruh kehidupan saya haruslah diubahkan. Tentu hal ini membutuhkan proses dan waktu. Kalau tidak percaya, bertanyalah kepada para saudari saya (sesama biarawati satu komunitas). Demikian pula, hal ini merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang harus dijalani di dalam hidup setiap umat Kristiani. Bapa kita yang kudus, Paus Yohanes Paulus II berkata bahwa kehidupan monastik (kehidupan membiara) adalah “rujukan dan tolak ukur semua umat beriman Kristiani yang telah dibaptis” (Orientale Lumen), dan beliau tidak pernah mengatakan bahwa hanya kami lah kaum biarawan/biarawati yang melakukan seluruh karya umat Kristiani yang telah dibaptis.
Hari Raya Kelahiran Tuhan Kita adalah suatu kesempatan bagi kita masing-masing untuk memikirkan dan menilik kembali, apakah kita telah mewujudkan (menginkarnasikan) kasih Allah. Lalu jika kita menemukan bahwa ternyata kita bukanlah citra/gambaran sempurna Allah (yang mana tentu kita semua adalah demikian!), maka kita diminta untuk bertanya lebih dalam lagi kepada diri kita masing-masing, “Dengan cara bagaimanakah saya mau mempersilahkan Allah untuk mengubah diriku menjadi serupa gambaran-Nya?” Ada 3 jawaban atas pertanyaan ini, Pantang dan puasa (yaitu memberi tempat bagi Allah), Doa (membuka diri dan mengundang Allah untuk diam di dalam kita), dan Tindakan Cinta Kasih (mempersembahkan kembali berkat-berkat yang telah kita terima, termasuk diri kita sendiri, di dalam kasih). Karena inilah mengapa Gereja dengan bijaksana memilih saat-saat ini dalam tahun liturgi sebagai saat-saat pertobatan. Dalam Gereja Katolik Romawi, saat-saat ini disebut sebagai “Adven”, yang dimulai pada hari Minggu terdekat dengan Pesta St Andreas (30 November). Sedangkan di Gereja-Gereja Katolik Timur, saat-saat ini disebut sebagai “Puasa St Filipus” atau “Puasa Kelahiran Kristus”, yang dimulai pada tanggal 15 November (40 hari sebelum Hari Raya Natal). Tradisi tua Gereja-Gereja Katolik Timur adalah berpuasa dan berpantang dari daging dan produk-produk susu, hampir seketat masa PraPaskah. Namun bagaimanapun cara kita memelihara dan menjalankan pantang dan puasa, hal yang terpenting adalah memastikan bahwa saat-saat ini adalah saat persiapan (bukan sekedar masalah berhenti makan dan minum). Kita masing-masing diharapkan mewujudkan (menginkarnasikan) kasih Allah kepada semua orang yang kita jumpai.
Jika iman meliputi pula perjumpaan yang nyata dengan Allah, maka dengan membuat Allah dikenal dan dijumpai lewat diri kita, kita membawa kepada dunia kesempatan akan iman kepada-Nya. Tuhan Yesus dilahirkan sebagai manusia dalam sebuah palungan. Suatu tempat yang saat itu sangat umum dan sangat biasa. Kita pun dapat membawa Dia ke dunia ini di tempat-tempat yang biasa pula, bahkan seperti misalnya di toko kelontong sekalipun.
( Diterjemahkan dan diedit oleh : DCS Evangelismos Katolik Timur. Sumber : www.christthebridegroom.org/; Kitab Suci Terjemahan Baru LAI-LBI. Sumber gambar : courtesy of Para Biarawati Komunitas Kristus Sang Mempelai via www.christthebridegroom.org )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar